Get me outta here!

Upacara Suci Purnama Sadha atau Kasadha ( XI Sejarah - Asal Usul )


"Upacara Purnama Sadha atau Kasadha"
Purnama Kesadha (Kedua belas) bagi umat Hindu di Pengunungan Tengger, Malang, Jawa Timur. Begitu dirayakan dengan khusuk dan kidmat. Upacara persembahan sesaji ke kawah Gunung Bromo yang dikenal dengan upacara Kesodho, adalah untuk mengenang dan menghormati seorang insan manusia luar biasa yang bernama Dewa Kusuma. Demi memenuhi janji orang tuanya yang bernama Roro Anteng dan Joko Seger, Dewa Kusuma rela dicemplungkan ke kawah Gunung Bromo sebagai sesaji atau persembahan.

Kisah ini terjadi pada awal keruntuhan Kerajaan Majapahit, di mana Raja Majapahit terakhir adalah Prabhu Brawijaya. Suku Tengger berasal dari Rakyat Majapahit yang melarikan diri setelah Kerajaan Prabhu Brawijaya runtuh. Sampai saat ini mereka masih memeluk Agama Hindu dan Budha. Hingga tidak mengherankan jika Suku Tengger sering dan suka melakukan upacara persembahan berupa sesaji.


Orang tua Roro Anteng adalah mantan seorang Raja yang menyingkir ke hutan karena kalah berperang. Konon yang menjadi musuhnya adalah putranya sendiri. Sebenarnya Sang Raja bukan kalah melainkan mengalah dan lari bersama istri-istrinya meninggalkan negerinya pindah menetap diantara Gunung Bromo dan Gunung Semeru.

Di situ mereka melahirkan anak perempuan yang diberi nama Nyai Anteng. Karena ketika dilahirkan bayi tersebut tidak menangis. Setelah Dewasa Roro Anteng menjadi gadis yang sangat cantik, hingga dikasihi Ayah bundanya.

Sebenarnya Roro Anteng merupakan penjelmaan dari seorang Dewi di Kahyangan. Pada waktu yang bersamaan, dilain tempat hutan di gunung itu, tinggal juga seorang pendeta yang istrinya pun melahirkan seorang putra yang diberi nama Joko Seger, karena badannya sehat dan montok.

Kedua anak itu meningkat dewasa, Nyai Anteng menjadi gadis cantik dan Joko Seger menjadi seorang pemuda cakap. Di hutan itu tinggal pula seorang Raksasa yang menyerupai badak, bernama Kyai Bima.

Sewaktu mendengar kabar kecantikan Nyai Anteng iapun segera meminangnya. Roro Anteng mengajukan syarat, meminta supaya di atas gunung tersebut dibuatkan danau (kolam) dan harus selesai dalam satu malam sebelum ayam berkokok.

Kyai Bima menyanggupi. Untuk menggali tanah ia memakai tempurung kelapa yang sangat besar. Sekali gali saja telah besarlah lubang yang digalinya. Kemudian diseroknya lagi untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba didengarnya ayam berkokok.

Sebenarnya saat itu belum menjelang pagi, tetapi karena gelisah melihat hasil pekerjaan si Raksasa, Nyai Anteng mengambil alu dan lesung dan mulai menumbuk padi, ketika mendengar orang menumbuk padi, ayampun berkokoklah dengan nyaringnya.

Bukan kepalang marah Kyai Bima. Tempurung yang masih berisi tanah segera dilemparkan. Tempurung terbalik dan karena besarnya terjadilah sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok. Kemudian bergegas-gegaslah Kyai Bima meninggalkan tempat itu. Bekas jalan yang dilaluinya menjadi sebuah sungai yang sampai sekarang masih terdapat di hutan pasir gunung Batok.

Singkat cerita, dikisahkan kemudian Joko Seger datang meminang Roko Anteng. Melihat wajah jejaka cakap itu, Roro Anteng menerimanya dengan senang hati. Setelah menikah mereka membuka sebuah desa yang dinamakan Tengger. Kata itu berasal dari akhiran nama Roko Anteng (Teng) dan akhiran nama Joko Seger (Ger).

Begitulah mereka hidup bahagia sebagai pengantin menikmati indahnya kehidupan berumah tangga. Mereguk manis madunya perkawinan dua sejoli yang berbahagia itu. Bertahun-tahun mereka hidup bahagia dan damai. Namun timbul juga keresahan hati mereka.

Karena begitu lamanya mereka membina rumah tangga, belum juga dikaruniai anak. “Daripada tidak mempunyai putra, lebih baik aku mati dibakar api saja”, kata Joko Seger kepada sang istri. “Sabarlah kakanda, marilah kita bersama-sama berdoa kepada Yang Maha Kuasa supaya kita dikaruniai putra ... Nyai Roro Anteng menghibur dengan berlinang-linang air mata.

Mendengar perkataan istrinya tiba-tiba Joko Seger mengucapkan ikrar, “Aku mempunyai Nadar, bila dikaruniai anak sampai 25 orang maka akan kuberikan yang seorang untuk sesajen ke dalam api”. Serentak dengan ikrar itu timbullah api dari dalam tanah. Api itu selanjutnya menjadi kawah Gunung Bromo.

Rupanya keinginan kedua suami istri itu terlaksana. Roro Anteng benar-benar mengandung dan melahirkan anak hingga sampai 25 orang. Setelah semuanya menginjak dewasa, ketika itulah timbul persoalan yang sulit. Joko Seger teramat kasihnya kepada putra-putranya itu. Namun tak dapat dipungkiri ia harus menunaikan nadarnya. Maka dipanggillah putra-putranya itu mengahdap dan diberitahukan tentang nadar itu. Putra-putranya serempak pucat wajahnya mendengar ikrar dan nadar orang tuanya itu. Hanya putranya yang bungsu bernama Dewa Kusuma dengan tangkas segera menyahut.

 “Karena Ayah dan Ibu sudah terlanjur mengucap nadar, maka biarlah aku saja yang akan menjalani. Hanya harapanku agar aku dicemplungkan dalam kawah pada bulan Kesodo tanggal 14. Setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut, aku minta diberi sesajen berupa hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh kakang-kakangku semua”.

Diiringi oleh ratap tangis kedua Ayah-Bundanya dan ke 24 saudaranya, maka Dewa Kusuma segera dicemplungkan kedalam kawah Gunung Bromo. Kebetulan setiap tahun bulan kesodo tanggal 14 bertepatan dengan Purnama. Hingga Upacara persembahan itu bernuansa religius dan magis.

Maka demikianlah hingga sekarang dan sampai saat ini suku Tengger di Malang, Jawa Timur, masih melangsungkan adat istiadat memberi sesaji kedalam kawah Gunung Boromo. Pengorbanan Dewa Kusuma sungguh mulia dan terpuji. Dia iklas melaksanakannya itu demi kebahagiaan orang tua dan suadara-saudaranya. 

0 comments:

Post a Comment