Get me outta here!

Memeluk Langit


Bermimpi itu boleh kan.? Tapi kenapa ya, aku takut bermimpi. Takut kalau mimpi itu bagaikan obsesi yang berlebihan. Takut kalau mimpi itu tidak terjamah dan hanya menjadi angan belaka. Takut kalau mimpi mimpi itu hanya menjadi seonggok harapan yang sia sia. Atau bahkan lebih dari itu, aku takut mimpi yang tak terjamah itu menjadikan aku seseorang yang hanya menjadi pemimpi belaka. Aku tidak mau…

“Bermimpilah setinggi langit, kalaupun kau tidak mencapai langit, kau dapat mencapai bintang..”. Aku masih ragu akan mimpiku yang setinggi langit ini. Menimbang segala kemampuan yang ada, aku takut akan kehilangan daya juangku yang berharga hanya karena patahnya mimpiku yang setinggi langit itu. Aku masih beruntung kalau dapat mencapai bintang, tapi bagaimana kalau menyentuhpun aku tidak bisa.? Disinilah kekuatan pantang menyerah dan kesabaran harus diterapkan. Apakah aku seorang yang penyabar dan pantang menyerah.? Inilah masalahnya….

Aku memang orang yang biasa, bahkan teramat biasa. Tidak ada yang spesial. Tapi menjadi orang yang tidak biasa adalah keinginanku. Aku tidak ingin menjadi orang rata-rata. Aku ingin lebih, dalam berbagai hal. Apakah aku mampu.? Entahlah…

Usaha dan usaha.. Menjadi workaholic yang sehat, mencari peluang disana sini, mencoba segala hal yang menurutku perlu, menempa mental agar kuat, telah dan sedang kulakukan. Memang tidak cukup hanya itu. Butuh hal yang lebih dari itu untuk mencapainya. Fisik dan mental yang kuat, terutama mental yang harus aku tempa menjadi kuat. Seseorang yang kuat….

Apa keinginan dan mimpiku.?? Menjadi orang yang sukses, itu normal. Keinginanku, sukses yang dapat membawaku, keluargaku, dan orang disekitarku bahagia karena keberadaanku. Aku ingin sekali membahagiakan kedua orang tuaku, karena aku telah lama membebeni mereka, akulah satu satunya harapan mereka. Dan aku tidak ingin mengecewakan mereka. Sedetikpun, aku tak akan. Mimpiku.? Menjadi seseorang yang dapat melakukan banyak hal, tanpa meninggalkan segala sesuatu yang menjadi kewajibanku. Banyak sekali mimpiku, dan itu masih menjadi rahasiaku, sampai saat ini. Akan aku rajut mimpi ini agar menjadi nyata. Agar aku benar benar dapat memeluk langit yang tinggi bersama orang tuaku……………….

Semoga Allah memberikan jalan untukku.. Semoga Allah menjadikan aku pribadi yang pantas untuk disukseskan.. Semoga Allah selalu memeluk mimpi mimpiku….. Aamiin…

Masa SMA (puisi karya sendiri)

Guna melengkapi tugas Bahasa Indonesia mengenai puisi karya sendiri, saya mengarang sebuah puisi.. Semoga bagussss… :3


Masa SMA
Oleh : Anggraeni Dias Saputri

Cerita dalam tawa, canda, dan tangisan
Mengkolaborasikan suka maupun duka
Menyatukan sesuatu yang berbeda menjadi nyata
Mengisahkan rangkaian cerita manis yang enggan terhapus masa

Dentingan detik berputar begitu cepat
Mengalahkan pusaran angin tornado
Mengalahkan kuatnya deburan ombak dilautan
Apakah kehangatan itu akan hilang terbawa angin?
Apakah kebersamaan itu akan terkikis oleh deburan ombak.?
Akankah masa itu akan kembali kurasakan.?

Masa  itu….
Antara persahabatan dan percintaan
Menyajikan kisah romantis klasik untuk dikenang
Namun….
Seiring derap langkah yang kita atur bagai barisan
Menuju titik pusat dari segala keinginan
Meninggalkan coretan cerita manis yang telah kita teguk
Akankah kita melupakannya.??



Among The Two Doors ( part.V -TAMAT- )


Cerita sebelumnya dapat dibaca di “Among The Two Doors” part. IV
….

Kini, liburan Maris telah usai. Kini ia harus kembali untuk kuliah. Sebelum ia pergi, ia memutuskan untuk menemui Tea. Tak disangka, saat itu Tea sedang bersama dengan seseorang. Rayan. Dilihatnya, wajah Tea yang sangat bahagia bersama Rayan. Ia tak mau mengganggu. Dan ia terpaksa pergi tanpa berpamitan. Dengan kekesalan dihatinya. Bukan salah Tea. Tapi salah dirinya yang tak mampu mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya pada Tea. Sebenarnya, kalaupun ia setuju, Nami, Asya, Frasya dan Eda akan membantu. Tapi ia menolaknya. Bodohnya.

****

Beberapa hari tak melihat Maris, mebuat hati Tea rindu. Ternnyata, dia benar benar rindu tidak mendengar suaranya, tak melihat wajahnya.

“Hallo…”
“Hallo… Ada apa Te.?”
“Kak, kamu dimana sih.?”
“Liburanku udah abis. Aku lagi kuliah. Maaf…”
“Eh kakak kog nggak pamit aku kalo udah balik.?”
“Maaf Te… tut tut tut….”
Jawaban belum didengar, tapi handphone sudah dimatikan. Sedih. Hatinya merasa sepi. Entah mengapa. Tea tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kesal. Tea tak akan telpon lagi. Untuk saat ini.

****

Beberapa bulan telah berlalu. Kini Tea sudah kelas 3, menjelang kelulusan. Sampai saat ini, Tea sudah lama tidak diganggu Maris. Dia merindukan saat Maris mengganggunya. Liburan saat Maris dirumahpun, Maris tak mengunjungi rumah Tea. Tak sekalipun menegur Tea. Tak sekalipun melihatnya. Kini ia sibuk. Sok sibuk.

Hanya Rayan yang masih setia. Dia menelpon untu bercerita. Dan Tea menanggapinya dengan senang hati. Tea sudah menganggap Rayan sebagai kakaknya. Rayan pun tahu itu. Meskipun itu menyakiti hatinya. Ia tetap bahagia. Dapat menjadi curahan hati Tea.

Hari ini pengumuman dimuat… Tea dan kawan kawan satu persatu melihat pengumuman di internet bersama sama.. dan pengumuman yang terakhir, untuk Tea..

“Nih Te pengumumannya. Aku bacain ya…”
“Jangan keras keras. Aku takuuutt.”
“Adrastea Permata Latvia….. Ehmmm.. intinya aja ya…”
“Iya iya cepetan…”
“Sabar nyonyaaaa… ekhem… Waduh… Kamu yang sabar ya Te…”
“Eh… Nggak ketrima ya…” Tea lesu
“Sabar, soalnya kamu bakalan deket sama Kak Maris yang cakep ituuuu.!!!”
“Ah ketrima.? Coba coba lihat…” Tak percaya apa yang didengarnya, dia melihatnya sendiri di situs resmi itu. Sejenak kemudian. “Yeeeeeee.!!!!!”
“Yee… Kita bareng Te… Kamu di psokologi, aku di farmasi…” girang Frasya
“Yah, kenapa aku jauh sendiri si. UGM nan jauh diasana..”
“Kan ada aku Da…” semangat Nami sambil memeluk temannya itu. “Dan sama Kak Rayan tentunya.. hahaha”
“Betul betul…” Eda mendapat suntikan semangatnya
“Ih lha aku.? Sendirian.?” Asya berlagak melankolis menerima nasib
“Nggak papa lagi Sya. Kamu kan ditengah.” Tea berusaha menenangkan
“Pokoknya kalian harus ngabarin aku terus…”
“Iya neng….”
Berpelukanlah sahabat itu. Berpisahnya mereka bukan berarti mereka harus putus persahabatan.
“Eh.. kamu nggak mau ngasih tahu Kak Maris.?”
“Enggak ah. Buat kejutan…”
“Ciye ciye….” Sorak mereka bersamaan disusul wajah Tea yang memerah. Malu.

****


Tak ingin sengaja hendak menemui Maris. Tea berpura pura sedang jalan jalan. Bersama Frasya sahabatnya. Hatinya selalu berdegup kencang. Bagaimana nanti reaksi Maris ketika melihatnya.

“Eh Te.. itu Kak Maris. Diseberang jalan. Di Café samaaaa....” Katanya sambil menunjuk kerumunan yang sedang berkumpul.
“Eh iya… Dan…. Sama cewek…. Balik aja yukk..” ajak Tea kecewa
“Eh… Mereka mau pergi tuh… Kak Maris ngasih ke cewek itu apaan.? Hadiah.?”
Tea tak menanggapi. Tak ingin menanggapi. Matanya memperhatikan dengan saksama. Hingga kedua mata mereka bertemu. Menyadari itu, Tea langsung memalingkan wajahnya. Maris tahu, dia mengenal betul siapa itu. Dikejarnya Tea. Salah tingkah, Tea hendak pergi meninggalkan tempat itu. Namun tiba tiba… tangannya tertahan oleh sesuatu. Tangan Maris.
“Te…” wajah Maris berseri. Bahagia.
“Siapa cewek tadi kak.?” Frasya menengahi
“Dia itu…” belum selesai berbicara Tea sudah memotongnya
“Eh…. Kak Maris… maaf kak… Aku kesini cuma mau jalan aja kog… Maaf udah ganggu…” nadanya begitu berat.
Maris tahu Tea sudah salah paham.
“Aku balik dulu kak…” Tea melangkah pergi. Hatinya kacau.
“Kakak keterlaluan…” kata Frasya sambil meninggalkan Maris yang terpaku
Maris berpikir keras. Ia tak mau kehilangan wanita yang dicintainya sejak dulu itu. Dikejarnya Tea, dipegangnya tangan Tea, ditariknya hingga tubuh Tea mendekati tubuh lelaki ini. Dipeluklah tubuh Tea erat erat. Tea kaget. Terpaku. Kaku. Rasanya masih seperti dulu. Nyaman. Dan Maris membisikkan sebuah kalimat…
“Dia saudara sepepuku…”
Tea kaget. Tak percaya apa yang didengarnya. Hatinya kacau, bingung. Tapi ia sadar. Ia merasa…. Lega.
Frasya yang mendengar ucapan Maris itupun langsung mengerti. Bahkan ia merasa bersalah sudah berpikir yang tidak tidak. “Ehem… obat nyamuk obat nyamuk…”
Sadar hal itu Maris segera melepaskan pelukannya. Dilihatnya Frasya yang cengar cengir dibelakangnya.
“Eh Sya.. Sorry, lupa sih.. haha..”
“Sialan…” katanya sambil emnggerutu
“Te.. kamu kesini nyusul aku ya.?”
“GR. Aku kesini mau kuliah tau.!”
“Kamu jadi kuliah disini.?”
“Kenapa.? Nggak boleh.?”
“Eh… Enggakkkkk…” Maris langsung menjawabnya
“Bakalan ada yang pacaran nih. Tetanggaan pula. Widih widi…” goda Frasya
“ha ha ha…” mereka bertiga tertawa bersama
“Emang siapa pacaran sama siapa Sya.?” Tea menggoda
“Ekhem ekhem…” Maris berdehem
Sejurus kemudian digandengnya tangan Tea menuju mobilnya yang terparkir disebrang jalan. Meninggalkan Frasya.
“Eh tungguin… aku ikut. Aku sebatang kara di sini nih…”


****

TAMAT

Cerita ini hanya fiktif belaka. Nama, cerita atau apapun yang memiliki kesamaan, maaf ya…. Namanya juga mengarang. Karya pertamaku lho… :D

Salam Shamagachi… Happy blogging…. J

Among The Two Doors ( part. IV )


Cerita sebelumnya dapat dibaca di “Among The Two Doors” part.III
….

Kak Narayan

Tea tidak memperdulikan. Bete. Dia hanya memijit kakinya yang sakit. Terkilir. Sambil menahan sakit, Tea mencoba berdiri. Tapi, kakinya menolak untuk berdiri. Sebelum hampir terjatuh, tubuhnya sudah ditopang tangan Maris.
“Ngapain kak.?” Tanya Tea dengan nada sewot
“Aku bantuin kamu dungu. Eh…. Pincang ya.? Sini aku gendong.” Maris merendahkan punggungnya. Mempersilakan Tea untuk menaikinya.
 “Nggak ah. Makasih.”
“Mau kakinya bengkak dan nggak sekolah besok.?”
Tanpa ditanya dua kali, Tea sudah naik ke punggung lelaki ini. Beberapa langkah selanjutnya.. Tak sadar, Tea merebahkan kepalanya disebelah kepala Maris. Nyaman. Sadar akan hal itu, Maris tersenyum lega.

“Maris… Tea.? Kenapa kamu sayang.?”
“Jatuh Ma.. Mana temen temenku.?”
“Mereka udah pulang. Kelamaan nunggu kamu katanya. Maris… Tolong bawa sampai kamar ya…”
“Ah mama, aku masih bisa jalan sendiri…”
“Bawa aja Ris…”
“Eh… iya tante…” Maris menuju kamar Tea.
“Ah… Nyampe juga. Berat juga kamu ya Te.. Nggak nyangka aku.”
“Makasih.” Belum sembuh juga betenya.
“Te.. Aku minta maaf ya… gara gara aku kamu jatuh.”
Tea kaget. Tak percaya kalau laki laki ini akan minta maaf. Wajah Maris kali ini serius. Kali ini Tea baru sadar, temannya benar. Wajahnya memang tampan.
“Nggak papa kog…” jawab Tea sambil tersenyum sekenanya
“Besok aku anter kamu sekolah. Nanti aku bilang sama mama kamu. Sebagai tanda maaf. Nggak usah protes. Oke. Aku pulang dulu. Cepet sembuh ya..” diakhiri dengan senyum, akhirnya Maris melenggang pergi.
Tea tak berkata kata. Terhipnotis oleh perubahan Maris, yang tanpa diduga duga bisa sangat baik dengannya.

****

“Tea.. kamu diantar siapa tadi.? Numben pake mobil, biasanya jalan kaki. Eh, kamu kok pincang sih.?” Tanya Asya heran
“Eh…. Iya nih. Terkilir. Dan, itu mobilnya kak Maris.”
“Kak Maris.? Kog bisa.? Gimana ceritanya.?” Tanya Asya
“Cerita apa Sya.?” Tanya Nami bingung
“Ini, si nyonya dianter Kak Maris tadi pagi…”
“Serius kamu.?”
“Katanya….. makanya aku minta diceritain..”
“Eh.. Frasya sama Eda dimana sih.?”
“Nggak usah ngalihin pembicaraan deh..” Asya senewen
“Frasya kan nggak berangkat, ijin. Papanya dioperasi hari ini. Kalo Eda, dia kan lagi tanding basket sama SMA Tanjung Harapan…” jelas Nami
“Owh… Makasih Nami yang baik atas penjelasannya.” Kata Tea sambil melirik Asya yang masih aja mrengut. “Oke oke aku ceritain….”
“Nah gitu donk…” wajah Asya berubah menjadi cerah
Diceritakanlah apa yang yang terjadi antara dia dan Maris. Semuanya. Kecuali satu hal. Nyamannya saat dipunggung Maris.
….

Sepulang sekolah, tak disangka mobil yang ditumpanginya pagi tadi sudah terparkir di depan sekolah. Kak Maris. Sosoknya yang memiliki badan ideal, gayanya yang maskulin dan wajah yang tampan menarik semua mata gadis yang melewatinya. Tak heran. Hanya satu orang yang terlihat heran, Tea.
“Ngapain kakak disini.?”
“Jemput kamulah, sekalian ajak kamu jalan. Tenang aja, aku udah pamitin ke mamamu kok.”
“Ciyeeee…. Kita diajak nggak nih.?”
“Eh, kalian harus ikut….”
“Ha.? Ikut.?” Tanpa sadarkata itu keluar dari mulut Maris. Menyadari hal itu membuat suasana jadi kaku, Maris memperbaiki kalimatnya. “Eh… Maksudku, kalian ikut aja..”
Menyadari hal itu, tidak diinginkan oleh Maris, Asya turun tangan. Dan Asya tahu perasaan Maris sebenarnya.
“Ah, enggak kak. Makasih. Udah ada janji sama Nami. Yak an Nam.?”
“Aku.? Janji apa.?”
“Itu lho… ehm… masak kamu lupa.” Jelas Asya sambil menarik tangan Nami
“Aku kan mau i…..”
Belum selesai Nami bicara, kalimatnya sudah dipotong oleh Asya yang langsung pergi menarik tangan Nami yang bersikeras ingin ikut. Melangkah pergi sambil mengucapkan salam perpisahan…
“Duluan ya…”
Sejenak Tea melihat sahabatnya itu sangat aneh.
“Kok mereka aneh.? Kemaren ngebet mau ketemu, sekarang ada orangnya malah kabur…”
“Udah ah. Ayo jalan…”
Sejurus kemudian, mobil telah melaju. Dengan perasaan yang gembira, Maris, dapat membawa Tea pergi bersama. Hanya berdua.
“Aku mau pulang aja, besok ada ulangan. Aku nggak mau capek…”
“Tapi…”
“Ah… Aku lagi bete…”
Mendengar kata itu, Maris pasrah. Dia tak mau memaksa. Dia memang suka memaksa, tetapi tidak kali ini. Tidak dengan Tea.
“Baiklah…”

****

“Te… apa kamu nggak sadar.?” Nami membuka percakapan
“Sadar apa.?”
“Kak Maris itu suka sama kamu…” jawab Eda gemes
“Ngaco kudrat kalian…”
“Kamu yang nggak peka…”
“Peka.? Maksudmu Sya.?”
“Kak Maris ada buat kamu saat kamu sedih.” Jawab Asya
“Saat kamu butuh temen..” tambah Frasya
Kali ini dengan nada membentak Nami mengatakan, “Bahkan saat kamu dengan teganya cuek sama dia aja, dia tetep berusaha ngibur kamu Te.!!”
Diam. Tea hanya terdiam. Berfikir.
“Sekarang bilang ke aku. Apa perasaanmu ke Kak Rayan.? Suka.?”
Lagi lagi Tea terdiam. Kembali berfikir.
“Kak Rayan cerita ke aku. Meskipun kalian jalan berdua, pikiran kamu entah kemana. Yang kamu bicarain hanya tentang hebatnya seseorang yang kuliah di ITB. Itu kak Maris kan.?”
Tertegun. Tea tersadar. Nyamannya saat bersama dengan Kak Maris berbeda dengan nyamannya berada bersama Kak Rayan. Kini ia mengerti, Kak Rayan. Dia hanya suka padanya seperti layaknya kakak dan adik. Tapi perasaannya dengan Kak Maris berbeda, lebih. Lebih dari itu.

Bersambung…..


Cerita selanjutnya dapat di baca di “Among The Two Doors” part.V (TAMAT)

Among The Two Doors ( part.III )

Cerita sebelumnya dapat dibaca di “Among The Two Doors” part.II
….

“Udah neng, lubangnya..”
“Makasih ya Pak Uwi…”
“Sama sama neng…”
“Eh eh… siapa itu.? Cakep bener.?” Mata Frasya tertuju oleh sesosok wajah menawan
 “Oh… Itu kak Maris. Tetangga sebelah.” Jawab Tea datar
“Kamu nggak pernah cerita si.? Jahat. Eh dia kesini…” kata Frasya girang
“Eh… Te, ngapain kamu.? Ngubur kucing mati ya.?”
“Eh, ngaco. Ini, barang yang nggak penting kok kak.”
“Owh….” Maris paham apa itu. Ia tersenyum.
“Ehem eheeeem….” Frasya berdehem
“Eh ya kak, kenalin, temen sekelas aku.”
“Frasya Trika Putri Renaldi. Kelas 2 IPA 6 SMA Tri Tunggal. Lahir 6 Januari 1995. Golongan darah O. Panggil aja Frasya.. Eh satu lagi, aku single.”
“ckck..” Tea kegelian mendengar perkenalan Frasya yang kelewat lengkap itu.
“Eh.. lengkap banget. Aku nggak perlu lengkap lengkap ya kenalinnya. Panggil aja aku Maris.” Jawab Maris singkat, disusul senyumnya yang khas memperlihatkan lesung pipitya. Manis.

Sejenak berbincang bincang, Frasya langsung dekat dengan Maris. Lelaki ini memang bersahaja. Wajahnya yang tampan memang memikat. Sikapnya dewasa dan mandiri. Frasya langsung nyaman dan kagum padanya.

****
Kak Maris
“Te, kamu jahat banget si..”
“Apaan si.? Aku nggak ngerti deh.” Jawab Tea singkat.
“Apaan si Fra.?” Asya nggak kalah bingung sama Tea
“Itu… tetanggamu yang cakep itu…”
“Owh, kak Maris ya.?” Jawab Nami dengan bangganya
“Kamu kenal Nam.?” Frasya kaget
“Iya donk, tiap maen ke rumah Tea, Tea aku minta panggil kak Maris. Sahabatku yang paliiiiiiing baik.” Kata Nami sambil memeluk paksa Tea yang sedang asyik makan.
“Tuh kan Tea jahat….” Rengek Frasya sambil menarik narik lengan Tea
“Eh kalian ngobrolin apa sih.?” Eda bingung
“Owh.. kalian gitu ya ama aku sama Eda.? Nggak dikasi tahu…” ngambek Asya
“Astaga….” Jawab Tea datar.
“Nih ya, mau aku certain tentang kak Maris. Mau nggak.?”
Frasya melirik Tea.
“Aku nggak mau cerita tentang kak Maris. Males.”
“Kog gitu si Te.?”
“Ya iyalah. Kak Maris itu kalo sama Tea itu suka nggodain sampe Tea sebel jadi ya.. Tea pastinya sebel sama tu orang.” Terang Nami
“Eh… kayaknya kamu kenal banget ya… certain dong….” Pinta Frasya
“Eh aku mau main ke rumah Tea ah…” kata Eda
“Iya, aku juga ikut.!” Asya nggak kalah semangat
“Eh diem kalian semua… Nami mau cerita nih… Nam lanjutin Nam…” pinta Frasya
“Ehem ehem… Kak Maris itu sekarang kuliah di ITB fakultas MIPA semester 3 ini.”
“Wuiiiiiiih….” Frasya, Eda dan Nami kagum
“Dan yang pentiing……….”
“Yang penting apa Nam.?” Asya penasaran
“Iya apa.?” Eda geregetan
“Sabar donk. Ehemmmm… dia single.!!!” Teriak Nami semangat sampai lupa dia dimana
Hening sesaat. Seluruh pengunjung Café memandang mereka. Salah tingkah, Nami hanya tersenyum dan menyruput minumannya sambil mengacungkan dua jarinya, peace.
“Kamu ngomongnya kurang kenceng Nam, hahaha…”
“Malah ketawa kamu Te…”
“Eh, kerumahmu yok Te…” ajak Frasya
“Eh….”  Tea kaget
“Ayo…” kini Eda yang memaksa sambil menarik paksa lengan Tea
“Iya iya.. Ayo..” Asya nggak kalah, dia mendorong tubuh Tea.
….

***

“Panggil sana Te kak Maris…” pinta Asya
“Harus nraktir aku lho. Satu satu pokoknya.”
“Iya iya gampang. Sana cepet.” Kata Eda sambil mendorong Tea agar bergegas pergi
“Uh… Kalian nyebelin.” Teriak Tea dari luar pagar rumahnya
….

“Eh tante..”
“Eh Tea… Nyari siapa Te.?”
“Itu tante.. Ehm… kak Maris..” jawab Tea sambil nyengir
“Owh. Maris lagi ditaman, sana susul aja..” jawab tante sambil senyum senyum
“Ehehe.. Makasih tante..”
….

“Kalo nggak buat sahabat baik aku, nggak mau aku nyusul ke taman cuma buat Maris yang nyebelin itu. Uh.. dimana tuh orang.” Tea ‘bergumam’ dalam hati.
“Eh, aku denger apa yang kamu omongin Te.. Maklum, wajah aku yang ganteng ini emang mempesona kok. Fansku nambah lagi ya.?”
“Ya ampun. Ngapain kakak diatas pohon.? Mangganya berbuah juga enggak..”
“Enggak si. Tapi lihat matahari dari sini kelihatan bagus. Kamu pasti nggak percaya. Sini naik.” Ajak Maris lembut. Tangannya menjulur untuk membantu Tea. Tanpa berkata apapun, Tea meraih tangan Maris. Tea menggenggamnya dengan kuat.
“Wah… tinggi banget, gimana aku turunnya kak.? Kamu harus tanggung jawab pokoknya..”
“Iya iya gampang. Lihat tuh…”
Tea mengalihkan pandangannya pada arah yang ditunjukkan Maris.
“Indah…” tanpa sadar Tea mengucapkan lembut kata itu. Disusul senyumnya yang manis.
Maris tak melewatkan untuk memandang matahari yang hendak beranjak turun itu. Tapi matanya tertuju pada sesosok wajah yang lebih menarik hatinya, kalem manis. Tak sadar, Maris kini menatapnya lekat lekat. Hingga matahari telah turun pun tidak menyadarkannya. Sampai Tea menyadari Maris sedang menatapnya lekat lekat.
“Woy kak..” sapa Tea sambil melambai lambaikan tangannya dadepan wajah Maris.
“Eh….” Maris kaget. “Ayo ke rumahmu Te….”
“Ngapain.?”
“Katanya fansku mau ketemu.?”
“Astaga…” Tea baru ingat. Tangan kanannya spontan menepuk dahinya. “Gimana turunnya nih.?” Tea bingung.
“Aku turun dulu. Kamu liatin aku turun. Ntar kamu aku bantuin. Ok.?”
“Iya, cepet cepet sana.!”
“Iya nih aku turun. Lihatin.!” Maris turun pelan pelan agar diperhatikan oleh Tea. “Udah, cepetan kamu turun.”
“Aku takut kak, gimana kalo jatuh.?”
“Cerewet banget sih. Aku tinggal nih….” Maris melangkah meninggalkan Tea
“Eh tungguuuuu…….” Gubrak. Tiba tiba Tea sudah ada di tanah. Wajahnya mengernyit.
“ha ha ha.. Kamu ngapain di tanah.?” Ejek Maris.
Tea tidak memperdulikan. Bete. Dia hanya memijit kakinya yang sakit. Terkilir. Sambil menahan sakit, Tea mencoba berdiri. Tapi, kakinya menolak untuk berdiri. Sebelum hampir terjatuh, tubuhnya sudah ditopang tangan Maris.
“Ngapain kak.?” Tanya Tea dengan nada sewot
“Aku bantuin kamu dungu. Eh…. Pincang ya.? Sini aku gendong.” Maris merendahkan punggungnya. Mempersilakan Tea untuk menaiki punggungnya.
….

Bersambung…..

Cerita selanjutnya dapat di baca di “Among The Two Doors” part.IV