My 30th: A Simple Pause in Solo
This year, I turned 30. No grand celebration, no fancy presents. But I had something far more precious: a simple moment with my little family.
We decided to mark the day with the simplest of celebrations, a one-night staycation at a hotel in Solo. It wasn’t about luxury, it wasn’t about ticking off a long list of activities. We literally just went there to sleep. Yet, that one night felt like a pause. A small break from the routines of life. Our kid was delighted just to roll around on the soft hotel bed, while my spouse and I enjoyed the quiet, the kind that allows you to breathe a little deeper.
There’s something about being in a new environment that clears the heart and mind. The endless cycle of daily routines can sometimes wear you down, leaving you tired and restless. Stepping out, even just for a short while, feels refreshing. That little change of scenery, that shift away from repetition, carries its own kind of joy.
And the very next day, we returned to our daily lives in the city where we work and live. Back to reality, back to responsibilities. But my heart was full. Because turning 30 doesn’t have to be about lights and parties. Sometimes, it’s about the little joys, the laughter we share, and the warmth of family that makes the day unforgettable.
Thirty years. It feels like it all went by so fast. I only pray that the years ahead will be filled with gratitude, meaning, and blessings that continue to grow.
My 29th: New Chapter as a Mom
Today I turned 29. Nothing felt special. No birthday cake, no surprises, not even a little “treatment” from my partner. At first, I felt a little sad. Why didn’t he do something special on my birthday? Isn’t a birthday supposed to be celebrated, even in the simplest way? But then I realized, maybe that’s just how he sees birthdays. To him, it’s just another ordinary day. No need for rituals, no need for anything extra. For a moment it felt empty, but slowly I began to understand something. Maybe a birthday is supposed to feel like just another ordinary day. Not a day to be celebrated with noise, glitter, and cheer, but a moment for quiet reflection. With every year added, I should become more mindful, more aware. After all, every year gained is also a year lost from the time I have left.
So instead of asking, “Why wasn’t my birthday celebrated?” maybe the real question is, “What have I done with the years I’ve already lived?” Have I grown into a better person? Have I added to the good deeds that will follow me into the Hereafter?
And then I remembered, I am now a mother. A new mother. Isn’t that, by itself, the most extraordinary gift of all? To be entrusted with a little soul, to nurture and guide, to love endlessly that is something no birthday cake or present could ever compare to.
Maybe the celebration doesn’t come in the form of candles on a cake or gifts wrapped neatly. Instead, it’s in the breath I still get to take today, in the little smile I see on my child’s face, and in the chance to become a different version of myself, a mother.
Reaching 29 years, surviving all the ups and downs, and now stepping into motherhood, perhaps that is the true celebration. Quiet, humbling, yet deeply meaningful.
My 28th: Priceless Gift from God
Lelah Dibandingkan, Lelah Ditanyakan
Greatest Achievement in 2022: Beli Rumah
- Budget: kami merencanakan pembelian rumah dengan sistem KPR, dengan total uang yang kami pegang saat ini adalah Rp. xxx, mampu membayar maksimal perbulannya Rp. xxx, sehingga nantinya kami bisa mendapatkan rumah dengan range harga Rp. xxx.
- Lokasi: tidak jauh dari pusat keramaian atau perkotaan, pinggiran kota masih oke asalkan akses jalan yang bagus. Paling tidak, untuk mencapai perkotaan tidak lebih dari 30 menit perjalanan.
- Fasilitas: rumah yang diinginkan memiliki luas xxx meter², paling tidak memiliki 2 kamar tidur dengan jendela pada masing-masing kamarnya, memiliki halaman terbuka bagian depan dan belakang, penggunaan ruang yang jelas: untuk ruang tamu, ruang makan, dll.
- Lingkungan: hal ini tidak kalah penting. Lingkungan yang dekat pendidikan dan kesehatan menjadi poin utama disini. Kami juga melihat lingkungan rumah tersebut, bagaimana kondisinya, jenjang ekonomi dilevel mana, bagaimana masyarakat sekitar, dll.
Ingin Pulang Saat Dunia Terasa Melelahkan
Rumah di kampung itu mungkin tampak sederhana bagi orang lain. Ada yang menyebutnya tua, lapuk, bahkan tak layak huni. Tapi bagiku, rumah itu lebih dari sekadar dinding dan atap. Ia adalah tempat pertama aku mengenal arti kehidupan. Tempat di mana suara tawa dan tangis berpadu, tempat di mana segala hal dimulai.
Kini, ketika hidup terasa berat, pikiranku selalu kembali ke sana. Ada rindu yang aneh, bukan pada benda-benda yang ada di dalam rumah, melainkan pada rasa nyaman yang dulu pernah kurasakan. Rasa yang tidak bisa kubeli, tidak bisa kuganti, dan tidak bisa kucari di mana pun.
Rumah itu memang retak, kayunya rapuh, dan catnya mengelupas. Namun justru di sanalah kenangan-kenangan terbaik tersimpan. Setiap debu, setiap retakan, setiap suara pintu yang berderit, seakan memanggilku pulang. Ada kehangatan yang tak bisa digambarkan, meski hanya dengan duduk diam di ruang tamu yang kini lebih sepi dari dulu.
Kadang aku berpikir, mungkin benar adanya: ketika dunia terasa melelahkan, manusia hanya ingin kembali ke titik awal, tempat di mana semua terasa sederhana, jujur, dan apa adanya. Bagi sebagian orang, itu mungkin seseorang. Bagiku, itu adalah rumah tua di kampung.
Rumah itu mengingatkanku bahwa pulang bukan sekadar soal tempat, tapi soal rasa. Rasa diterima, rasa dimengerti, dan rasa tak dihakimi. Dunia luar boleh keras, penuh tuntutan, penuh ambisi, penuh perbandingan. Namun di rumah itu, aku hanya seorang anak yang bebas menjadi dirinya sendiri.
Mungkin rumah tua itu perlahan akan rapuh dimakan usia. Mungkin suatu hari ia tak lagi berdiri megah meski dalam kesederhanaannya. Tapi selama masih ada ingatan, selama masih ada rasa rindu, aku tahu rumah itu akan selalu hidup di dalam diriku.
Dan ketika hidup terasa terlalu berat, aku akan selalu tahu jawabannya: aku hanya ingin pulang.
Unfriend: Facebook's
Recently I have had a concern regarding friendships on social media, one of them is Facebook. I have thousands of friends, but yet don't know half of them. What the hell was I doing in the past? Why did I have so many strangers? Long story short, I decided to unfriend people ...
My 27th: A House!
After years of my praying to God and trying to convince hubby, finally, God softened and reassured my hubby's heart. Eventually, we could do the house research and explore, for months! Well, there's a long way to go through. We found so many suitable houses for us, yet we just need one of them.
"The best present I have ever given for you, so far." said hubby.
Hobi Yang Kembali Bersemi
Panen cabai, siapa mau?? |
Idul Fitri 1441 H: Lebaran yang Berbeda
Yang Lain Sudah Nikah, Kamu Kapan?
![]() |
- gambar: weheartit.com - |
Sahabat, Cinta, dan Pengkhianatan
Nggak nyangka. Nggak habis pikir. Ini beneran terjadi dalam hidupku. Kecewa? Pasti. Aku kira hal seperti ini cuma ada di lagu-lagu galau, drama, atau sinetron televisi.
Sebut saja namanya KAF. Dia salah satu sahabatku sejak awal masuk perguruan tinggi. Biasa ya, di kampus atau tempat kerja, pasti ada aja grup pertemanan. Kebetulan kami berenam—empat perempuan dan dua laki-laki. Kemana-mana selalu bareng.
Jadwal kuliah sengaja disusun supaya bisa sekelas. Kalau ada tugas individu, sering saling berbagi. Kalau tugas kelompok, tentu dibuat bersama supaya lebih gampang. Menjelang ujian pun ada agenda belajar bareng, meskipun lebih sering dipenuhi obrolan dan canda tawa. Dari situ, hubungan kami makin dekat. Curhat, berbagi cerita, bahkan sampai saling mengenalkan pasangan dan keluarga masing-masing. Buatku, sahabat-sahabat ini sudah seperti keluarga sendiri.
Kedekatan lebih intens aku rasakan dengan para sahabat perempuan. Kami sering mampir ke kosan salah satu teman untuk sekadar istirahat. Biasalah, kalau sama-sama perempuan, bebas keluar-masuk kamar kos. Di situlah biasanya kami berbagi cerita lebih dalam.
Nah, dari kami berempat, hanya KAF yang single. Kisah cintanya bisa dibilang… selalu tragis. Bertepuk sebelah tangan, hubungan tanpa status, atau jatuh cinta pada orang yang ternyata sudah punya pasangan. Dan parahnya, itu sering terjadi berulang kali. Kami sudah sering mengingatkan dia untuk mundur, karena ya jelas salah kalau mendekati orang yang sudah berpasangan. Tapi dia selalu punya alasan, katanya “sebelum janur kuning melengkung, masih bebas.” Ngeyel.
Di titik ini sebenarnya aku harusnya sadar. Sahabat yang terbiasa bersikap “ganjen” pada pasangan orang lain bisa jadi bibit toxic dalam lingkaran pertemanan. Tapi aku lengah. Aku tetap berteman seperti biasa. Dan akhirnya… aku sendiri yang kena.
Aku marah bukan hanya karena perselingkuhan itu sendiri, tapi karena yang jadi “orang ketiga” adalah sahabatku sendiri. Kalau pun hubunganku dengan pasanganku memang ditakdirkan untuk bermasalah, kenapa harus sama dia? Kenapa harus dengan orang yang aku percaya sepenuh hati?
Sejak itu aku belajar, bibit toxic sekecil apapun jangan dianggap sepele. Kalau punya teman yang jelas-jelas sulit diingatkan, apalagi punya kebiasaan buruk yang bisa merugikan kita, jangan berharap dia berubah. Lebih baik jaga jarak, atau pergi sekalian, sebelum luka yang ditinggalkan terlalu dalam.
Pengkhianatan ini bikin aku makin sulit percaya pada orang lain. Rasanya butuh waktu lama untuk membuka hati dan memberi kepercayaan lagi.
"I don't trust anyone else. Even the devil was once an angel."
Graduated!
Butuh Niat Buat Ngumpulin Niat!
![]() |
- my copyrighted picture - |
Mukaku #TeamMinyak
![]() |
picture by Google |
Fake Smile
Tolong Jaga Dia
Mataku hanya tertuju pada satu titik didepanku, hanya satu titik fokus. Pada jam dinding yang terus berdetik menuju menit. Hingga jam, aku sukar untuk tidur. Pikiranku memutar sebuah memori yang terus menerus diulangnya hingga detik ini. Memori yang tak ingin aku lupakan, tapi ingin aku istirahatkan sejenak. Memori ini.. Membuatku terus terpaku pada jam dinding itu, memutar setiap detiknya dengan apa yang telah terjadi, dan tanpa sadar membuatku meneteskan air mata. Tak terbendung. Dan selalu aku tanyakan pada diriku sendiri, inikah aku?
Memori yang masih terpatri jelas, detik demi detik yang telah aku lewati saat itu. Sendiri melawan derasnya rasa bersalah. Sakit. Perih sekali rasanya. Tuhan.. aku berdoa. Dan Dia mendengar doaku, Dia mengabulkan doaku. Dia bersamaku. Dia tidak tidur. Dia terjaga bersamaku menemaniku. Aku malu pada-Nya. Aku benar-benar tak tahu diri.
Aku telah berjanji. Perjanjian antara aku, Tuhan, dan dia. Aku berjanji tak akan melakukan kesalahan yang sama, aku berjanji untuk mengingatnya, meski dalam diam, meski dalam doa. Dan Tuhan, tolong jaga dia untukku, meski aku rasa, dia benar-benar membenciku meski aku telah meminta maaf padanya, tapi tak apa. Aku akan baik-baik saja. Semoga. Tolong jaga dia Tuhan, untukku...
Mukadimah KKN

Serius. Aku mulai kejar-kejaran sama laporan Kerja Praktek. Deadlineku yang harusnya semester enam kelar ternyata sampai sekarang belum kelar. Ternyata nggak semudah yang dibayangkan sebelumnya. Eh... Sorry gaes. Mari back to topic. Sesuai judul. Cerita tentang Kerja Praktek aku post setelah Bab III ku kelar sama dosen. Baper laporan Kerja Praktek belum kelar. Hikz.
Katanya sih, KKN itu ajangnya nyari jodoh. Banyak juga yang kena korban cinlok, alias cinta lokasi. Yang belum punya pacar, bisa banget dapet pacar kalo pinter pedekatenya. Yang udah punya pacar, bisa jadi putus terus pindah kelain hati. Yang udah sama-sama punya pacar, dan nggak mau mutusin pacarnya masing-masing, bisa juga jadi teteeman. Atau yang lebih parah, yang udah punya pacar bisa juga dapet selingkuhan eh….. eh…. Kok jelek semua yak? Hahaha. Engga semuanya kok seperti itu. Nah.. mari kita bahas pengalaman KKN-ku, muehehe. Semoga tidak membosankan yah~
Kerja Praktek
![]() |
- my copyrighted picture - |