Decluttering: Pakaian Satu Dekade yang Lalu
Ketika ada kesempatan untuk melakukan decluttering di rumah oang tua di kampung halaman sana, rasanya senang sekali. Target kali ini adalah satu box berisi pakaian zaman SMP–SMA. Kenapa baju-baju itu disimpan rapi di dalam box selama bertahun-tahun? Jawabannya sederhana, karena pada masa itu, saya sangat kurus. Kemudian, memasuki masa perkuliahan, perlahan tubuh saya berubah membesar, gemuk maksudnya. Pakaian itu pun disimpan dengan satu harapan klasik: nanti juga bisa dipakai lagi kalau sudah kurus. Nyatanya, kurusnya baru datang setelah melahirkan. Setelah hampir satu dekade lamanya. Haha.
Dan baru sekarang, box itu akhirnya saya bongkar. Rasanya seperti membuka kapsul waktu. Satu per satu pakaian membawa kembali memori masa remaja, tentang gaya berpakaian, fase hidup, kenangan saat memakainya dan versi diri saya di masa lalu. Sebuah box dengan segudang cerita. Tanpa sadar, ada rasa gemetar dihati saya. Bagaimana tidak, jumlah pakaian yang tidak sedikit dengan rata-rata harga yang tidak murah pada masanya. Betapa kedua orang tua memanjakanku, ditengah ekonomi kami yang terbilang hanya berkecukupan.
---
Bagi saya, decluttering bukan sekadar “menghilangkan” barang. Lebih dari itu, ini soal mengefisienkan dan menyadari apa yang benar-benar kita miliki. Karena sering kali, kita tidak sadar punya suatu barang, bukan karena tidak ada, tapi karena terlalu banyak.
Sejujurnya, kategori yang paling sering saya declutter adalah pakaian. Dan bulan ini terasa pas untuk melakukannya, karena momennya bertepatan dengan pulang kampung. Saya membuka kembali box pakaian itu dan menemukan banyak pakaian yang sudah tak muat, atau masih muat tapi sudah kehilangan spark joy-nya.
Dulu, saya punya prinsip: simpan aja dulu, siapa tahu nanti kepake. Sampai akhirnya, barang-barang itu:
- tidak kepakai karena lupa,
- tidak kepakai karena sudah tidak suka,
- tidak kepakai karena sudah tidak fit dibadan,
- atau tidak kepakai karena meski muat, sudah tidak lagi “pas” di hati.
Kemudian saya berpikir, bagaimana jika barang yang saya simpan itu belum sempat saya gunakan namun saya telah mati? Barang tersebut masih menjadi milik saya, namun tidak bisa saya gunakan. Saya menanggung sesuatu yang bahkan belum sempat saya gunakan. Sudah boros, mubazir pula.
Yang paling menguatkan tekad saya justru datang dari satu kesadaran lain: segala sesuatu akan dihisab. Saya takut memiliki terlalu banyak barang yang tidak digunakan. Nanti pertanggungjawabannya bagaimana? Pemikiran ini pernah saya tulis juga di sini: Harta yang Kita Simpan Tak Akan Diam di Hari Hisab
Sejak merasa “tercerahkan”, prinsip lama yang kolot itu pelan-pelan saya ubah. Apalagi setelah membaca bukunya Marie Kondo, semakin mantap untuk hanya menyimpan hal-hal yang benar-benar bermakna.
Lalu, apa yang saya lakukan setelah proses decluttering selesai?
Pertama, tentu saja pakaian yang masih fit dan masih memberi spark joy saya pakai kembali.
Kedua, pakaian yang masih bagus namun sudah tidak saya pakai, akan saya tawarkan kepada orang lain yang mungkin membutuhkan. Saya jelaskan dengan jujur kondisinya dan ceritanya. Silakan dipilih mana yang ingin dipakai, yang tidak berkenan pun tidak masalah. Prosesnya sederhana: mohon dipilih dengan penuh kesadaran.
Ketiga, pakaian yang tidak terpilih pada proses kedua namun masih layak pakai saya sumbangkan ke badan amal atau organisasi yang memang mengelola pakaian bekas dengan baik.
Bagaimana dengan pakaian yang sudah tidak layak pakai? Tetap dimanfaatkan semaksimal mungkin, bisa dijadikan serbet, lap, atau kain pel. Intinya satu, memaksimalkan masa penggunaan barang, agar tidak menambah tumpukan sampah yang sebenarnya bisa dicegah.
---
Dari satu box pakaian lama, saya belajar lagi tentang melepas, tentang rasa cukup, dan tentang tanggung jawab atas apa yang saya miliki.
---
Terima kasih bapak dan ibuk, sudah memenuhi kebutuhan sandang anak perempuanmu pada masa belianya, masa dimana egonya sedang tinggi dan tak mau mengalah.

0 comments