Enam Bulan, Bukan Waktu yang Singkat untuk Pengobatan
Setelah enam bulan penuh kesabaran, perjuangan, dan doa, tibalah saat yang paling kami tunggu, pengecekan akhir. Apakah penyakit ini sudah benar-benar tuntas atau masih harus berlanjut?
Enam bulan bukan waktu yang sebentar. Hari demi hari, setiap pagi setelah sarapan, anak kami selalu meneguk “obat merah”. Begitulah aku menyebutnya, karena warnanya memang merah pekat. Setiap kali selesai minum, bibir mungilnya selalu tampak seperti memakai lipstik tipis. Lucu sekaligus menyayat hati, karena aku tahu, di balik warna merah itu ada perjuangan yang sedang ia jalani. Minum obat ini tak boleh terlupa barang satu hari pun. Konsistensi sangat penting karena jika terhenti di tengah jalan, bakteri Mycobacterium tuberculosis bisa menjadi kebal (resisten) dan pengobatan menjadi jauh lebih sulit. Setiap pagi di jam yang sama, meski kadang penuh drama kecil, kami tetap menjalaninya.
Dalam masa enam bulan itu, setiap bulannya kami rutin kontrol ke dokter spesialis anak. Hingga pada satu titik, rumah sakit rasanya sudah seperti rumah kedua kami. Bayangkan, betapa miris rasanya ketika tempat yang seharusnya hanya didatangi sesekali justru menjadi bagian dari keseharian. Namun di situlah kami berusaha tegar, demi memastikan anak kami bisa pulih. Dan kini, setelah perjalanan panjang itu, tibalah saatnya rontgen ulang. Hasil inilah yang akan menentukan: selesai di sini, atau harus lanjut ke fase berikutnya.
Kami kembali masuk ke ruangan rontgen. Suasananya tetap sama: dingin, sunyi, penuh ketegangan. Anak kami menangis keras saat diminta berbaring di atas kasur yang dingin, tak boleh bergerak. Tangisannya menggema di ruangan sepi itu, sementara kami berusaha tersenyum dan menenangkan, meski hati sendiri hampir runtuh. Saat keluar dari ruangan, aku merasa seperti terjebak dalam dejavu. Ingatanku langsung melompat ke enam bulan lalu, saat vonis TBC pertama kali kami dengar. Tanganku kembali bergetar, dan aku tak sanggup menatap mata kecilnya yang selalu begitu polos memandangku.
Beberapa jam kemudian, hasil bacaan rontgen keluar. Ternyata, paru-parunya sudah bersih. Nafas kami sedikit lega, tapi kami tetap menunggu kepastian dari dokter spesialis anak. Dan akhirnya, kalimat yang kami tunggu-tunggu itu keluar dari bibir beliau: “Anak ibu sudah sembuh.”
Seolah dunia berhenti sesaat. Tidak ada sorak-sorai atau tepuk tangan, hanya hembusan nafas panjang tanda lega. Namun di dalam hati kami, riuhnya tak terbendung. Alhamdulillah. Akhirnya, masa ini bisa terlewati juga.
My 30th: A Simple Pause in Solo
This year, I turned 30. No grand celebration, no fancy presents. But I had something far more precious: a simple moment with my little family.
We decided to mark the day with the simplest of celebrations, a one-night staycation at a hotel in Solo. It wasn’t about luxury, it wasn’t about ticking off a long list of activities. We literally just went there to sleep. Yet, that one night felt like a pause. A small break from the routines of life. Our kid was delighted just to roll around on the soft hotel bed, while my spouse and I enjoyed the quiet, the kind that allows you to breathe a little deeper.
There’s something about being in a new environment that clears the heart and mind. The endless cycle of daily routines can sometimes wear you down, leaving you tired and restless. Stepping out, even just for a short while, feels refreshing. That little change of scenery, that shift away from repetition, carries its own kind of joy.
And the very next day, we returned to our daily lives in the city where we work and live. Back to reality, back to responsibilities. But my heart was full. Because turning 30 doesn’t have to be about lights and parties. Sometimes, it’s about the little joys, the laughter we share, and the warmth of family that makes the day unforgettable.
Thirty years. It feels like it all went by so fast. I only pray that the years ahead will be filled with gratitude, meaning, and blessings that continue to grow.
Adalagi Biangkeroknya, Tuberkulosis
Hari-hari mendampingi tumbuh kembang anak selalu penuh kejutan. Sejak awal MPASI, kami mencoba memberikan yang terbaik, bahkan sempat memperkenalkan makanan lebih dini untuk mengejar berat badan si kecil sesuai dengan arahan DSA. Harapannya sederhana, agar berat badan anak bisa sesuai grafik tumbuh kembang. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Berat badan anakku di usianya yang ke-11 bulan hanya 7,8 kg, angka yang seharusnya bisa lebih dari itu. Ada rasa cemas yang sulit dijelaskan setiap kali melihat grafik pertumbuhan yang tidak sesuai harapan.
Kami sudah mencoba banyak cara. Tes alergi dengan skin prick test pun dilakukan, dan hasilnya menunjukkan beberapa indikasi alergi makanan. Kami ikuti semua anjuran untuk menghindari makanan pemicu tersebut, tapi tetap saja berat badan anak tidak kunjung naik signifikan. Sampai akhirnya, dokter spesialis anak mulai mencurigai sesuatu yang lebih serius: TBC pada anak.
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini lebih sering dikenal menyerang paru-paru orang dewasa, tapi ternyata anak-anak juga bisa tertular, terutama bila ada kontak dekat dengan penderita TBC dewasa. Gejalanya sering tidak khas: berat badan sulit naik, batuk berkepanjangan, demam tanpa sebab jelas, hingga nafsu makan menurun. Itulah sebabnya TBC pada anak kerap terlewat atau terlambat didiagnosis.
Untuk memastikan kecurigaan, dokter menyarankan tes Mantoux. Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sedikit cairan khusus (tuberkulin) di bawah kulit lengan. Beberapa hari kemudian, reaksi kulit akan diukur untuk melihat apakah tubuh bereaksi terhadap bakteri penyebab TBC. Hasilnya membuat hati ini hancur: positif. Rasanya seperti dunia runtuh.
Sebagai langkah lanjutan, dokter meminta anakku menjalani rontgen dada. Didalam ruangan dingin itu, segala doa kami panjatkan, kami mohon semoga apa yang terjadi nantinya, adalah apa yang terbaik untuk kami semua. Dan dari situ, hasilnya semakin jelas, anak kami terdiagnosis TBC anak. Kami tertunduk, tak percaya, mataku rasanya penuh dengan air mata yang tertahan. Meski begitu, dokter menenangkan kami bahwa TBC bukanlah kesalahan orang tua, tapi lebih kepada tantangan yang harus segera dihadapi bersama.
Kemudian, pertanyaan besar pun muncul: dari mana anak kami bisa tertular?
Rasa bersalah seolah menghantui setiap detik. TBC adalah penyakit menular, dan kemungkinan besar anak tertular dari orang terdekat. Untuk langkah lanjutan, kami berdua juga melakukan tes dahak BTA untuk menelusuri penyakit ini. Hasilnya negatif. Kami putuskan untuk menyarankankan kedua orang tua kami melakukan tes yang sama. Sulit, sangat sulit meyakinkan orang tua untuk melakukan tes ini. Denial, merasa baik-baik saja, dan berbagai alasan lainnya. Maka baiklah, yang penting kami berdua, sebagai orang terdekatnya negatif.
Saat ini, satu-satunya cara untuk melawan TBC adalah dengan menjalani pengobatan jangka panjang menggunakan obat antituberkulosis (OAT). Anak saya mendapat durasi pengobatan 6 bulan. Durasi ini ditentukan oleh tingkat keparahan dan respon tubuh anak. Durasi 6 bulan ini adalah adalah durasi tersingkat, meski begitu, saya merasa ini sangat lama. Komitmen menjadi tantangan tersendiri, obat harus diminum setiap hari sesuai jadwal, tanpa boleh terlewat, agar bakteri benar-benar hilang dan tidak menimbulkan resistensi.
Perjalanan kami masih panjang. Tapi yang pasti, kami berusaha kuat, demi anak yang kami cintai. Menjadi orang tua ternyata bukan hanya soal memberi makan dan kasih sayang, tapi juga menemani di jalan terjal penuh ujian.
Kami percaya, dengan ikhtiar dan doa, ada kesembuhan di depan sana.
Popok Kain Modern, Pilihan Ramah Lingkungan untuk Bayi dan Bumi
Pertama kali saya tahu tentang klodi itu dari saudara. Anaknya pakai klodi sejak bayi, dan saya waktu itu cuma mikir, “kok ribet banget ya, harus dicuci segala.” Tapi lama-lama, rasa penasaran muncul juga. Apalagi saya memang punya keinginan untuk hidup lebih ramah lingkungan, ditambah lagi dengar cerita bahwa bayi bisa lebih sehat kulitnya kalau pakai klodi. Akhirnya saya coba juga untuk anak saya. Ternyata, rasanya lega sekali melihat bayi nggak gampang kena ruam, plus dompet juga lebih aman. Hehe.
Klodi alias cloth diaper. Kalau dulu kita tahu popok kain tradisional yang dilipat-lipat, nah klodi itu versi modernnya. Bentuknya seperti pospak, ada perekat atau kancing snap, tapi bedanya: klodi bisa dicuci dan dipakai lagi. Ada insert kain penyerap yang bisa diganti. Sedangkan pospak sekali pakai ya, seperti namanya: sekali pakai kemudian langsung buang. Praktis, tapi sampahnya banyak banget.
Kenapa akhirnya saya jatuh hati dengan klodi? Ada beberapa alasan:
- Lebih ramah lingkunganBayangkan, sekali pakai langsung buang, berarti tiap hari numpuk sampah. Dengan klodi, cucian memang bertambah, tapi hati lebih tenang karena nggak ikut menambah ribuan popok di tempat sampah.
- Lebih ekonomisSaya punya sekitar 20 potong klodi dari berbagai merk: Klodiz, BabyLeon, Ningrat, Qianquhui, LilGG. Masing-masing 4 potong, jadi total Rp1.000.000 (satuannya sekitar Rp50.000). Kalau dihitung-hitung, begini jadinya:Bayi butuh rata-rata 6 pospak per hari.Dalam setahun → 6 × 365 = 2.190 pospak.Harga 1 pospak kira-kira Rp1.500 → total Rp3.285.000.Bandingkan dengan klodi yang cukup beli sekali Rp1 juta, bisa dipakai terus. Hematnya lebih dari Rp2 juta dalam setahun. Belum lagi pikiran lebih tenang karena nggak menghasilkan 2 ribuan sampah pospak. Itu dalam setahun ya, belum lagi kalau nanti bisa diturunkan untuk adek-adeknya (kalau mau punya anak lagi, wkwk)
- Lebih sehat untuk kulit bayiSejak pakai klodi, kulit bayi saya lebih adem. Nggak ada drama ruam merah yang bikin rewel.
- Bisa dipakai berulangIya sih, harus rajin cuci. Tapi ternyata nggak seberat itu, karena bisa sekalian bareng cucian baju bayi. Jadi nggak nambah kerjaan yang bikin stres juga. Kalau BAB? Ya diguyur seperti biasa pake pospak, jangan bilang kalau pake pospak BAB-nya nggak dibersihkan dulu? Iyuuhh.
Buat saya, pakai klodi bukan berarti harus anti-pospak sepenuhnya. Saya masih pakai pospak di malam hari atau kalau bepergian. Tapi mencoba beralih sedikit demi sedikit sudah cukup membuat hati lega: bayi nyaman, dompet lebih aman, dan yang paling penting, bumi juga ikut tersenyum. 🌱