Enam Bulan, Bukan Waktu yang Singkat untuk Pengobatan

by - March 31, 2025


Setelah enam bulan penuh kesabaran, perjuangan, dan doa, tibalah saat yang paling kami tunggu, pengecekan akhir. Apakah penyakit ini sudah benar-benar tuntas atau masih harus berlanjut?

Enam bulan bukan waktu yang sebentar. Hari demi hari, setiap pagi setelah sarapan, anak kami selalu meneguk “obat merah”. Begitulah aku menyebutnya, karena warnanya memang merah pekat. Setiap kali selesai minum, bibir mungilnya selalu tampak seperti memakai lipstik tipis. Lucu sekaligus menyayat hati, karena aku tahu, di balik warna merah itu ada perjuangan yang sedang ia jalani. Minum obat ini tak boleh terlupa barang satu hari pun. Konsistensi sangat penting karena jika terhenti di tengah jalan, bakteri Mycobacterium tuberculosis bisa menjadi kebal (resisten) dan pengobatan menjadi jauh lebih sulit. Setiap pagi di jam yang sama, meski kadang penuh drama kecil, kami tetap menjalaninya. 

Dalam masa enam bulan itu, setiap bulannya kami rutin kontrol ke dokter spesialis anak. Hingga pada satu titik, rumah sakit rasanya sudah seperti rumah kedua kami. Bayangkan, betapa miris rasanya ketika tempat yang seharusnya hanya didatangi sesekali justru menjadi bagian dari keseharian. Namun di situlah kami berusaha tegar, demi memastikan anak kami bisa pulih. Dan kini, setelah perjalanan panjang itu, tibalah saatnya rontgen ulang. Hasil inilah yang akan menentukan: selesai di sini, atau harus lanjut ke fase berikutnya.

Kami kembali masuk ke ruangan rontgen. Suasananya tetap sama: dingin, sunyi, penuh ketegangan. Anak kami menangis keras saat diminta berbaring di atas kasur yang dingin, tak boleh bergerak. Tangisannya menggema di ruangan sepi itu, sementara kami berusaha tersenyum dan menenangkan, meski hati sendiri hampir runtuh. Saat keluar dari ruangan, aku merasa seperti terjebak dalam dejavu. Ingatanku langsung melompat ke enam bulan lalu, saat vonis TBC pertama kali kami dengar. Tanganku kembali bergetar, dan aku tak sanggup menatap mata kecilnya yang selalu begitu polos memandangku.

Beberapa jam kemudian, hasil bacaan rontgen keluar. Ternyata, paru-parunya sudah bersih. Nafas kami sedikit lega, tapi kami tetap menunggu kepastian dari dokter spesialis anak. Dan akhirnya, kalimat yang kami tunggu-tunggu itu keluar dari bibir beliau: “Anak ibu sudah sembuh.”

Seolah dunia berhenti sesaat. Tidak ada sorak-sorai atau tepuk tangan, hanya hembusan nafas panjang tanda lega. Namun di dalam hati kami, riuhnya tak terbendung. Alhamdulillah. Akhirnya, masa ini bisa terlewati juga.

You May Also Like

0 comments