Ketika Drama China Mengubah Waktu, Mimpi, dan Ekspektasi
Drama China sering kali terlihat ringan dan tidak memakan banyak waktu. Setidaknya, itulah yang saya pikirkan di awal. Bayangkan saja, satu episode hanya sekitar lima menit. Ketika melihat total episode yang “hanya” sekitar 50-an, hitungannya terasa masuk akal: 5 menit × 50 episode = 250 menit. Jauh lebih singkat dibandingkan drama Korea yang satu episodenya bisa mencapai hampir dua jam. Saat itu saya merasa, ah, ini cuma drama pendek, cepat selesai.
Namun kenyataannya tidak sesederhana itu.
Setelah satu judul selesai, muncul judul lain yang terlihat tak kalah menarik. Alurnya mirip, pemerannya cantik dan tampan, konfliknya ringan tapi bikin penasaran. Tanpa sadar, satu drama berganti menjadi dua, lalu tiga. Waktu yang awalnya terasa “sebentar” berubah menjadi berjam-jam yang hilang begitu saja. Di sinilah saya mulai menyadari bahwa bukan durasi per episode yang berbahaya, tapi kesinambungan ceritanya.
Dampaknya tidak berhenti di situ. Ketika menonton terlalu intens, cerita dalam drama tersebut terbawa hingga ke alam bawah sadar. Saya pernah mengalami mimpi dengan alur dan imajinasi yang mirip dengan drama yang sedang ditonton, seolah otak belum benar-benar berhenti memproses ceritanya, bahkan saat tidur. Ini membuat kualitas istirahat menurun dan pikiran terasa lelah meskipun tubuh sudah berbaring lama.
Secara emosional, drama China juga perlahan membentuk ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap realita. Kisah cinta yang manis, perhatian berlebihan dari tokoh utama pria, hingga gambaran pasangan ideal seperti CEO muda, kaya, tampan, dan super romantis membuat dunia nyata terasa hambar. Tanpa sadar, saya mulai membandingkan kehidupan nyata dengan kisah fiksi, padahal keduanya jelas tidak berada di level yang sama.
Selain itu, ada dampak lain yang lebih halus namun cukup mengganggu, yaitu pergeseran standar kecantikan dan ketampanan. Hampir semua pemeran wanita digambarkan putih, tinggi, langsing, dengan rambut panjang terurai dan hidung mancung. Sementara pemeran pria digambarkan super tinggi, badan sixpack, wajah mulus, dan nyaris tanpa cela. Paparan visual seperti ini secara perlahan membentuk standar ideal di kepala, meskipun secara sadar kita tahu bahwa itu tidak realistis dan sangat selektif.
Tanpa disadari, hal ini bisa memengaruhi cara memandang diri sendiri maupun orang lain. Standar yang terlalu tinggi membuat rasa tidak puas semakin mudah muncul, baik terhadap penampilan sendiri maupun terhadap realitas sekitar.
Pada akhirnya, menonton drama China bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif. Ia bisa menjadi hiburan, pelarian sementara, bahkan sumber inspirasi. Namun pengalaman pribadi ini mengajarkan bahwa hiburan yang terlihat singkat dan ringan tetap perlu dikendalikan. Tanpa batasan, ia bisa memengaruhi waktu, emosi, mimpi, hingga cara kita memandang hidup dan realita.
Jadi, sudah menonton drama pendek China berapa hari ini? hehe
0 comments