Sahabat, Cinta, dan Pengkhianatan
Nggak nyangka. Nggak habis pikir. Ini beneran terjadi dalam hidupku. Kecewa? Pasti. Aku kira hal seperti ini cuma ada di lagu-lagu galau, drama, atau sinetron televisi.
Sebut saja namanya KAF. Dia salah satu sahabatku sejak awal masuk perguruan tinggi. Biasa ya, di kampus atau tempat kerja, pasti ada aja grup pertemanan. Kebetulan kami berenam—empat perempuan dan dua laki-laki. Kemana-mana selalu bareng.
Jadwal kuliah sengaja disusun supaya bisa sekelas. Kalau ada tugas individu, sering saling berbagi. Kalau tugas kelompok, tentu dibuat bersama supaya lebih gampang. Menjelang ujian pun ada agenda belajar bareng, meskipun lebih sering dipenuhi obrolan dan canda tawa. Dari situ, hubungan kami makin dekat. Curhat, berbagi cerita, bahkan sampai saling mengenalkan pasangan dan keluarga masing-masing. Buatku, sahabat-sahabat ini sudah seperti keluarga sendiri.
Kedekatan lebih intens aku rasakan dengan para sahabat perempuan. Kami sering mampir ke kosan salah satu teman untuk sekadar istirahat. Biasalah, kalau sama-sama perempuan, bebas keluar-masuk kamar kos. Di situlah biasanya kami berbagi cerita lebih dalam.
Nah, dari kami berempat, hanya KAF yang single. Kisah cintanya bisa dibilang… selalu tragis. Bertepuk sebelah tangan, hubungan tanpa status, atau jatuh cinta pada orang yang ternyata sudah punya pasangan. Dan parahnya, itu sering terjadi berulang kali. Kami sudah sering mengingatkan dia untuk mundur, karena ya jelas salah kalau mendekati orang yang sudah berpasangan. Tapi dia selalu punya alasan, katanya “sebelum janur kuning melengkung, masih bebas.” Ngeyel.
Di titik ini sebenarnya aku harusnya sadar. Sahabat yang terbiasa bersikap “ganjen” pada pasangan orang lain bisa jadi bibit toxic dalam lingkaran pertemanan. Tapi aku lengah. Aku tetap berteman seperti biasa. Dan akhirnya… aku sendiri yang kena.
Aku marah bukan hanya karena perselingkuhan itu sendiri, tapi karena yang jadi “orang ketiga” adalah sahabatku sendiri. Kalau pun hubunganku dengan pasanganku memang ditakdirkan untuk bermasalah, kenapa harus sama dia? Kenapa harus dengan orang yang aku percaya sepenuh hati?
Sejak itu aku belajar, bibit toxic sekecil apapun jangan dianggap sepele. Kalau punya teman yang jelas-jelas sulit diingatkan, apalagi punya kebiasaan buruk yang bisa merugikan kita, jangan berharap dia berubah. Lebih baik jaga jarak, atau pergi sekalian, sebelum luka yang ditinggalkan terlalu dalam.
Pengkhianatan ini bikin aku makin sulit percaya pada orang lain. Rasanya butuh waktu lama untuk membuka hati dan memberi kepercayaan lagi.
"I don't trust anyone else. Even the devil was once an angel."