Satu Titik ke Titik yang Lain: Lactose Intolerance
Setelah sembuh dari sakit TB Kid (tuberkulosis anak), aku dan suami sempat merasa lega. Berat badan si kecil mulai naik secara signifikan, sesuatu yang dulu rasanya hampir mustahil. Setiap kali jarum timbangan bergerak ke kanan, hati kami pun ikut berbunga-bunga. Harapan itu kembali tumbuh. Namun, kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah beberapa bulan setelah sembuh dari penyakit tersebut, berat badan si kecil kembali stuck. Anak saya, di usianya yang sudah menginjak 22 bulan, angka di timbangan seolah membeku, tak mau beranjak dari kisaran 9 kg. Bahkan untuk mencapai angka 10 kg terasa seperti mendaki gunung tinggi. Aku mulai bertanya dalam hati: “Apalagi yang salah kali ini?”
Kami mencoba melihat dari berbagai aspek. Mulai dari pola makan, porsi, hingga jenis asupan. Rasanya sudah berusaha maksimal, anak doyan makan tanpa pilah pilih, sudah double protein, dan apalagi anak saya juga minum susu formula khusus tinggi kalori, harusnya membantu menambah berat badan. Tapi tetap saja, angkanya sulit naik. Akhirnya, kami memutuskan untuk konsultasi ke beberapa dokter. Dari satu dokter ke dokter lain, semua mengecek dan memberi masukan. Hingga akhirnya ada satu hal yang bikin kami “terhenti sejenak”: indikasi lactose intolerance.
Deg.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya sudah ada “alarm” kecil yang muncul sejak lama. Anak saya jarang sekali BAB dengan bentuk normal. Hampir selalu cair, bahkan setelah minum susu. Waktu itu saya sempat berpikir, mungkin ini wajar karena usus anak masih berkembang. Tapi ternyata, hal ini bisa jadi pertanda penting.
Dokter menjelaskan bahwa lactose intolerant terjadi karena tubuh kesulitan mencerna laktosa, yakni gula alami dalam susu. Akibatnya, laktosa tidak tercerna dengan baik di usus kecil, lalu masuk ke usus besar dan difermentasi oleh bakteri. Nah, inilah yang menyebabkan perut kembung, sering buang gas, bahkan diare. Gejala ini persis dengan yang dialami anak saya: BAB cair, jarang sekali berbentuk.
Jujur, waktu mendengar kemungkinan lactose intolerant, saya sempat merasa cemas. Berarti selama ini, susu formula tinggi kalori yang kami berikan justru mungkin tidak terserap maksimal. Rasanya seperti gagal sebagai orang tua, padahal sudah berusaha keras memberikan yang terbaik. Apalagi, sebelum tahu soal indikasi ini, saya sempat menambah kuantitas susu dengan harapan berat badan anak cepat naik. Nyatanya, hal itu malah memperburuk kondisi ususnya, BAB jadi semakin sering dan cair. Saat sadar, ada rasa bersalah yang besar, seolah saya sendiri yang membuat kondisinya memburuk.
Yang bikin semakin menantang, anak saya juga punya alergi kedelai. Jadi, opsi susu soya yang sering jadi alternatif utama untuk anak dengan lactose intolerant tidak bisa digunakan. Itu artinya, pilihan susu yang aman untuknya jauh lebih terbatas, dan kami harus lebih hati-hati lagi dalam memilih. Meski di sisi lain, saya juga merasa sedikit lega. Setidaknya, sekarang kami punya gambaran jelas penyebab kenapa berat badan anak kembali stuck. Bukan semata-mata karena pola makan kurang, tapi karena tubuhnya tidak bisa menerima laktosa dengan baik.
Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa setiap anak punya kebutuhan berbeda. Tidak semua anak cocok dengan susu biasa. Ada yang butuh susu bebas laktosa (lactose free), ada juga yang harus diganti ke alternatif lain seperti susu hidrolisat ekstensif, atau bahkan produk nutrisi medis khusus. Selain itu, saya juga jadi lebih mindful dalam memperhatikan reaksi tubuh anak setelah makan atau minum sesuatu. Ternyata tubuh anak bisa memberi banyak sinyal, hanya saja kadang kita luput memperhatikannya.
Huft.
Perjalanan ini masih panjang. Berat badan anak saya mungkin belum sesuai dengan grafik yang ideal, tapi setidaknya kami sudah menemukan satu titik terang. Mengetahui adanya indikasi lactose intolerant membuat kami bisa mengambil langkah yang lebih tepat. Yang terpenting, kita selalu belajar menjadi lebih peka terhadap anak. Karena ternyata, tubuh kecil mereka punya cara tersendiri untuk memberi tahu kita apa yang sebenarnya terjadi.
0 comments