Berat Badan Anak Terhambat oleh Alergi yang Tak Terlihat

by - July 30, 2024

Berpacu dengan waktu mengejar berat badan ideal terasa begitu melelahkan. Kenapa harus dikejar? Karena pada usia balita, pertumbuhan dan perkembangan merupakan hal yang sangat penting. Keduanya saling berkaitan erat, jika pertumbuhan terganggu, maka perkembangan anak juga bisa terhambat, begitu pula sebaliknya.

Salah satu cara yang paling mudah dilakukan orang tua untuk memantau tumbuh kembang anak adalah dengan kurva pertumbuhan. Melalui kurva ini, kita bisa melihat berat badan, panjang/tinggi badan, hingga lingkar kepala anak apakah sudah sesuai usianya. Harapannya, bila pertumbuhan fisiknya sesuai kurva, maka kebutuhan gizi dan perkembangan “di dalam” tubuhnya pun tercukupi.

Sejak usia 5 bulan, anak saya sudah mulai MPASI dini atas saran dokter spesialis anak karena berat badannya stagnan. Kini, di usia 9 bulan, berat badannya baru mencapai 7,4 kg, padahal idealnya untuk usia tersebut sekitar 8–10 kg (Referensi: WHO Growth Standards, 2006). Memang tidak terlalu jauh dari angka ideal, tetapi posisinya masih belum aman karena belum melewati garis merah pada kurva pertumbuhan.

Setelah 4 bulan menjalani MPASI namun kenaikan berat badan masih kurang signifikan, dokter anak kami menyarankan untuk konsultasi lebih lanjut ke dokter spesialis anak konsultan alergi dan imunologi. Dari dokter umum ke spesialis, kini lanjut ke subspesialis, ya, perjuangan ini bukan hanya soal tenaga dan hati, tetapi juga soal dompet yang ikut menyala.

Kami pun datang berkonsultasi. Setelah mendengarkan semua keluhan, dokter menyarankan untuk melakukan tes laboratorium urine lengkap dan Skin Prick Test (SPT). Skin Prick Test adalah pemeriksaan alergi dengan cara memberikan sejumlah kecil alergen (zat yang dicurigai menimbulkan alergi) ke kulit, biasanya di lengan bawah atau punggung. Kulit kemudian ditusuk halus agar alergen masuk sedikit ke bawah kulit. Jika timbul reaksi seperti bentol atau kemerahan, berarti ada alergi terhadap zat tersebut (Referensi: Mayo Clinic)

Awalnya saya tidak tega. Bagaimana mungkin tangan mungil ini ditusuk berkali-kali? Kulitnya yang lembut harus digores-gores? Saya menolak melihatnya. Namun, ternyata anak saya hanya mau ditemani saya, bukan ayahnya. Mau tak mau saya mendampingi langsung. Dan betapa takjubnya saya, anak saya tetap tenang sepanjang proses. Tusukan demi tusukan ia lewati tanpa tangisan, hanya menatap lengannya yang penuh tanda. Dalam hati, saya ingin menangis, tapi juga sangat bangga. Kamu hebat sekali, Nak.

Keesokan harinya, hasil tes dibacakan: anak saya ternyata alergi kedelai. Saya terdiam. Selama ini, sejak awal MPASI, saya selalu memasukkan tahu atau tempe sebagai sumber protein nabati. Rasanya bersalah sekali, karena justru itulah yang membuat berat badannya tidak naik signifikan.

Yang membuat saya lebih kaget lagi: ternyata alergi tidak hanya muncul dalam bentuk ruam, gatal, atau bengkak yang terlihat di permukaan kulit. Alergi juga bisa memengaruhi saluran pencernaan, mengganggu penyerapan nutrisi, dan akhirnya berdampak pada pertumbuhan serta berat badan anak (Referensi: American College of Allergy, Asthma & Immunology). Jadi meskipun tampak “baik-baik saja” dari luar, tubuh mungil anak saya ternyata sedang berjuang keras di dalam.

Kini saatnya membenahi pola makanannya. Semua bahan berbasis kedelai harus dihindari. Selamat tinggal protein nabati ekonomis yang selalu jadi andalan, tempe. Tak apa, Nak. Biar ayah bundamu yang makan tempe, sementara kamu fokus dengan sumber protein lain seperti daging, ayam, dan ikan. Asal kamu sehat dan tumbuh optimal, kami akan berjuang sekuat tenaga.

You May Also Like

0 comments