"Upacara Purnama Sadha atau Kasadha" |
Kisah ini terjadi pada awal keruntuhan Kerajaan Majapahit, di mana
Raja Majapahit terakhir adalah Prabhu Brawijaya. Suku Tengger berasal dari
Rakyat Majapahit yang melarikan diri setelah Kerajaan Prabhu Brawijaya runtuh.
Sampai saat ini mereka masih memeluk Agama Hindu dan Budha. Hingga tidak
mengherankan jika Suku Tengger sering dan suka melakukan upacara persembahan
berupa sesaji.
Orang tua Roro Anteng adalah mantan seorang Raja yang menyingkir ke
hutan karena kalah berperang. Konon yang menjadi musuhnya adalah putranya
sendiri. Sebenarnya Sang Raja bukan kalah melainkan mengalah dan lari bersama
istri-istrinya meninggalkan negerinya pindah menetap diantara Gunung Bromo dan
Gunung Semeru.
Di situ mereka melahirkan anak perempuan yang diberi nama Nyai Anteng.
Karena ketika dilahirkan bayi tersebut tidak menangis. Setelah Dewasa Roro
Anteng menjadi gadis yang sangat cantik, hingga dikasihi Ayah bundanya.
Sebenarnya
Roro Anteng merupakan penjelmaan dari seorang Dewi di Kahyangan. Pada waktu
yang bersamaan, dilain tempat hutan di gunung itu, tinggal juga seorang pendeta
yang istrinya pun melahirkan seorang putra yang diberi nama Joko Seger, karena
badannya sehat dan montok.
Kedua anak itu meningkat dewasa, Nyai Anteng menjadi gadis cantik dan
Joko Seger menjadi seorang pemuda cakap. Di hutan itu tinggal pula seorang
Raksasa yang menyerupai badak, bernama Kyai Bima.
Sewaktu mendengar kabar kecantikan Nyai Anteng iapun segera
meminangnya. Roro Anteng mengajukan syarat, meminta supaya di atas gunung
tersebut dibuatkan danau (kolam) dan harus selesai dalam satu malam sebelum
ayam berkokok.
Kyai Bima menyanggupi. Untuk menggali tanah ia memakai tempurung
kelapa yang sangat besar. Sekali gali saja telah besarlah lubang yang
digalinya. Kemudian diseroknya lagi untuk yang kedua kalinya, tiba-tiba
didengarnya ayam berkokok.
Sebenarnya saat itu belum menjelang pagi, tetapi karena gelisah
melihat hasil pekerjaan si Raksasa, Nyai Anteng mengambil alu dan lesung dan
mulai menumbuk padi, ketika mendengar orang menumbuk padi, ayampun berkokoklah
dengan nyaringnya.
Bukan kepalang marah Kyai Bima. Tempurung yang masih berisi tanah
segera dilemparkan. Tempurung terbalik dan karena besarnya terjadilah sebuah
gunung yang dinamakan Gunung Batok. Kemudian bergegas-gegaslah Kyai Bima
meninggalkan tempat itu. Bekas jalan yang dilaluinya menjadi sebuah sungai yang
sampai sekarang masih terdapat di hutan pasir gunung Batok.
Singkat cerita, dikisahkan kemudian Joko Seger datang meminang Roko
Anteng. Melihat wajah jejaka cakap itu, Roro Anteng menerimanya dengan senang
hati. Setelah menikah mereka membuka sebuah desa yang dinamakan Tengger. Kata
itu berasal dari akhiran nama Roko Anteng (Teng) dan akhiran nama Joko Seger
(Ger).
Begitulah mereka hidup bahagia sebagai pengantin menikmati indahnya
kehidupan berumah tangga. Mereguk manis madunya perkawinan dua sejoli yang
berbahagia itu. Bertahun-tahun mereka hidup bahagia dan damai. Namun timbul
juga keresahan hati mereka.
Karena begitu lamanya mereka membina rumah tangga, belum juga
dikaruniai anak. “Daripada tidak mempunyai putra, lebih baik aku mati dibakar
api saja”, kata Joko Seger kepada sang istri. “Sabarlah kakanda, marilah kita
bersama-sama berdoa kepada Yang Maha Kuasa supaya kita dikaruniai putra ..“. Nyai Roro
Anteng menghibur dengan berlinang-linang air mata.
Mendengar perkataan istrinya tiba-tiba Joko Seger mengucapkan ikrar,
“Aku mempunyai Nadar, bila dikaruniai anak sampai 25 orang maka akan kuberikan
yang seorang untuk sesajen ke dalam api”. Serentak dengan ikrar itu timbullah
api dari dalam tanah. Api itu selanjutnya menjadi kawah Gunung Bromo.
Rupanya keinginan kedua suami istri itu terlaksana. Roro Anteng
benar-benar mengandung dan melahirkan anak hingga sampai 25 orang. Setelah semuanya
menginjak dewasa, ketika itulah timbul persoalan yang sulit. Joko Seger teramat
kasihnya kepada putra-putranya itu. Namun tak dapat dipungkiri ia harus
menunaikan nadarnya. Maka dipanggillah putra-putranya itu mengahdap dan
diberitahukan tentang nadar itu. Putra-putranya serempak pucat wajahnya
mendengar ikrar dan nadar orang tuanya itu. Hanya putranya yang bungsu bernama
Dewa Kusuma dengan tangkas segera menyahut.
“Karena Ayah dan Ibu sudah
terlanjur mengucap nadar, maka biarlah aku saja yang akan menjalani. Hanya
harapanku agar aku dicemplungkan dalam kawah pada bulan Kesodo tanggal 14.
Setiap tahun pada bulan dan tanggal tersebut, aku minta diberi sesajen berupa
hasil bumi dan ternak yang dihasilkan oleh kakang-kakangku semua”.
Diiringi oleh ratap tangis kedua Ayah-Bundanya dan ke 24 saudaranya,
maka Dewa Kusuma segera dicemplungkan kedalam kawah Gunung Bromo. Kebetulan
setiap tahun bulan kesodo tanggal 14 bertepatan dengan Purnama. Hingga Upacara
persembahan itu bernuansa religius dan magis.
Maka demikianlah hingga sekarang dan sampai saat ini suku Tengger di
Malang, Jawa Timur, masih melangsungkan adat istiadat memberi sesaji kedalam
kawah Gunung Boromo. Pengorbanan Dewa Kusuma sungguh mulia dan terpuji. Dia
iklas melaksanakannya itu demi kebahagiaan orang tua dan suadara-saudaranya.
0 comments:
Post a Comment