Ingin Pulang Saat Dunia Terasa Melelahkan
Rumah di kampung itu mungkin tampak sederhana bagi orang lain. Ada yang menyebutnya tua, lapuk, bahkan tak layak huni. Tapi bagiku, rumah itu lebih dari sekadar dinding dan atap. Ia adalah tempat pertama aku mengenal arti kehidupan. Tempat di mana suara tawa dan tangis berpadu, tempat di mana segala hal dimulai.
Kini, ketika hidup terasa berat, pikiranku selalu kembali ke sana. Ada rindu yang aneh, bukan pada benda-benda yang ada di dalam rumah, melainkan pada rasa nyaman yang dulu pernah kurasakan. Rasa yang tidak bisa kubeli, tidak bisa kuganti, dan tidak bisa kucari di mana pun.
Rumah itu memang retak, kayunya rapuh, dan catnya mengelupas. Namun justru di sanalah kenangan-kenangan terbaik tersimpan. Setiap debu, setiap retakan, setiap suara pintu yang berderit, seakan memanggilku pulang. Ada kehangatan yang tak bisa digambarkan, meski hanya dengan duduk diam di ruang tamu yang kini lebih sepi dari dulu.
Kadang aku berpikir, mungkin benar adanya: ketika dunia terasa melelahkan, manusia hanya ingin kembali ke titik awal, tempat di mana semua terasa sederhana, jujur, dan apa adanya. Bagi sebagian orang, itu mungkin seseorang. Bagiku, itu adalah rumah tua di kampung.
Rumah itu mengingatkanku bahwa pulang bukan sekadar soal tempat, tapi soal rasa. Rasa diterima, rasa dimengerti, dan rasa tak dihakimi. Dunia luar boleh keras, penuh tuntutan, penuh ambisi, penuh perbandingan. Namun di rumah itu, aku hanya seorang anak yang bebas menjadi dirinya sendiri.
Mungkin rumah tua itu perlahan akan rapuh dimakan usia. Mungkin suatu hari ia tak lagi berdiri megah meski dalam kesederhanaannya. Tapi selama masih ada ingatan, selama masih ada rasa rindu, aku tahu rumah itu akan selalu hidup di dalam diriku.
Dan ketika hidup terasa terlalu berat, aku akan selalu tahu jawabannya: aku hanya ingin pulang.
0 comments