Adalagi Biangkeroknya, Tuberkulosis
Hari-hari mendampingi tumbuh kembang anak selalu penuh kejutan. Sejak awal MPASI, kami mencoba memberikan yang terbaik, bahkan sempat memperkenalkan makanan lebih dini untuk mengejar berat badan si kecil sesuai dengan arahan DSA. Harapannya sederhana, agar berat badan anak bisa sesuai grafik tumbuh kembang. Namun, kenyataannya tidak semudah itu. Berat badan anakku di usianya yang ke-11 bulan hanya 7,8 kg, angka yang seharusnya bisa lebih dari itu. Ada rasa cemas yang sulit dijelaskan setiap kali melihat grafik pertumbuhan yang tidak sesuai harapan.
Kami sudah mencoba banyak cara. Tes alergi dengan skin prick test pun dilakukan, dan hasilnya menunjukkan beberapa indikasi alergi makanan. Kami ikuti semua anjuran untuk menghindari makanan pemicu tersebut, tapi tetap saja berat badan anak tidak kunjung naik signifikan. Sampai akhirnya, dokter spesialis anak mulai mencurigai sesuatu yang lebih serius: TBC pada anak.
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini lebih sering dikenal menyerang paru-paru orang dewasa, tapi ternyata anak-anak juga bisa tertular, terutama bila ada kontak dekat dengan penderita TBC dewasa. Gejalanya sering tidak khas: berat badan sulit naik, batuk berkepanjangan, demam tanpa sebab jelas, hingga nafsu makan menurun. Itulah sebabnya TBC pada anak kerap terlewat atau terlambat didiagnosis.
Untuk memastikan kecurigaan, dokter menyarankan tes Mantoux. Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sedikit cairan khusus (tuberkulin) di bawah kulit lengan. Beberapa hari kemudian, reaksi kulit akan diukur untuk melihat apakah tubuh bereaksi terhadap bakteri penyebab TBC. Hasilnya membuat hati ini hancur: positif. Rasanya seperti dunia runtuh.
Sebagai langkah lanjutan, dokter meminta anakku menjalani rontgen dada. Didalam ruangan dingin itu, segala doa kami panjatkan, kami mohon semoga apa yang terjadi nantinya, adalah apa yang terbaik untuk kami semua. Dan dari situ, hasilnya semakin jelas, anak kami terdiagnosis TBC anak. Kami tertunduk, tak percaya, mataku rasanya penuh dengan air mata yang tertahan. Meski begitu, dokter menenangkan kami bahwa TBC bukanlah kesalahan orang tua, tapi lebih kepada tantangan yang harus segera dihadapi bersama.
Kemudian, pertanyaan besar pun muncul: dari mana anak kami bisa tertular?
Rasa bersalah seolah menghantui setiap detik. TBC adalah penyakit menular, dan kemungkinan besar anak tertular dari orang terdekat. Untuk langkah lanjutan, kami berdua juga melakukan tes dahak BTA untuk menelusuri penyakit ini. Hasilnya negatif. Kami putuskan untuk menyarankankan kedua orang tua kami melakukan tes yang sama. Sulit, sangat sulit meyakinkan orang tua untuk melakukan tes ini. Denial, merasa baik-baik saja, dan berbagai alasan lainnya. Maka baiklah, yang penting kami berdua, sebagai orang terdekatnya negatif.
Saat ini, satu-satunya cara untuk melawan TBC adalah dengan menjalani pengobatan jangka panjang menggunakan obat antituberkulosis (OAT). Anak saya mendapat durasi pengobatan 6 bulan. Durasi ini ditentukan oleh tingkat keparahan dan respon tubuh anak. Durasi 6 bulan ini adalah adalah durasi tersingkat, meski begitu, saya merasa ini sangat lama. Komitmen menjadi tantangan tersendiri, obat harus diminum setiap hari sesuai jadwal, tanpa boleh terlewat, agar bakteri benar-benar hilang dan tidak menimbulkan resistensi.
Perjalanan kami masih panjang. Tapi yang pasti, kami berusaha kuat, demi anak yang kami cintai. Menjadi orang tua ternyata bukan hanya soal memberi makan dan kasih sayang, tapi juga menemani di jalan terjal penuh ujian.
Kami percaya, dengan ikhtiar dan doa, ada kesembuhan di depan sana.